UNDANG-UNDANG

Search

Update News

Indra Fardan. Diberdayakan oleh Blogger.
Minggu, 02 Februari 2014

Ekonomi Mikro Indonesia



ANALISIS VARIABEL MAKRO EKONOMI DI INDONESIA

Data Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan di Indonesia

Dalam memulai Bab II Tinjauan Teori ini, saya sebagai penulis ingin menyajikan data-data mengenai pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada era reformasi dan berbagai hal yang bersangkutan dengan kesejahteraan masyarakatnya yang berhubungan erat dengan pembangunan Indonesia. Data ini bertujuan untuk memberikan gambaran pada pembaca dan saya sebagai penulis tentang keadaan Indonesia pada era reformasi sehingga pada saat kita mempelajari teori- teori yang telah ada, kita mempunyai contoh dan gambarannya.
Data BPS atau Badan Pusat Statistik menunjukkan presentaase pengeluaran rumah tangga atau RT untuk kebutuhan pangan pada tahun 2004 mencapai 54,59%. pada tahun 2005. Persentase tersebut turun menjadi 51,37% dan kembali naik pada tahun 2006 menjadi 53,01%. Pengeluaran untuk kebutuhan pangan ini erat kaitannya dengan distribusi pendapatan masyarakat. Tercatat pula bahwa 40% populasi di Indonesia berpendapatan rendah juga fluktuatif atau tidak tetap.
Sementara itu, pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan non-pangan pada tahun 2004 mencapai 45,42%, pada 2005 naik menjadi 48,63% dan pada 2006 turun kembali menjadi 46,99%. Data ini menunjukkan bahwa pengeluaran kebutuhan pangan rumah tangga di Indonesia lebih besar dibandingkan pengeluaran kebutuhan non-pangan. Data ini mencirikan bahwa Indonesia masih termasuk negara berkembang dimana pengeluaran kebutuhan pangan atau (autonomous consumption) lebih besar disbanding dengan pengeluaran kebutuhan non-pangan seperti untuk liburan, hiburan dan lain-lain.
Terlihat dari dua data di atas, dari tahun 2004 sampai 2006 mengalami kemajuan. Walau sempat mengalami kemunduran dari 2005 ke 2006 namun pada akhirnya presentase 2006 menunjukkan perkembangan positif. Pada data awal terlihat bahwa pengeluaran kebutuhan pangan menurun. Hal ini tidak mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia tiba-tiba mengurangi jumlah konsumsi pangan mereka secara serentak namun pendapatan mereka naik sehingga presentase pengeluaran kebutuhan pangan mereka dari keseluruhan pendapatan mereka menurun.
Namun di Indonesia sangat terlihat kesenjangan ekonomi pada masyarakatnya. Dikhawatirkan presentase pertumbuhan ekonomi tersebut hanya untuk beberapa kalangan saja. Kekhawatiran tersebut dibuktikan oleh data BPS pada tahun 2004 di mana sebesar 40% masyarakat hanya menikmati 20,80% pendapatannya. Pada tahun 2005 presentase tersebut turun menjadi 18,81% dan naik pada tahun 2006 menjadi 19,75%. Terlihat bahwa presentase dari 2004 ke 2006 mengalami penurunan. Hal ini sangat tidak sebanding dengan 20% masyarakat golongan kaya yang bisa menikmati pendapatan mereka sampai pada 42,07% pada 2004, 44,78% pada 2005 dan 42,15% pada 2006. Inilah sebabnya mengapa Gini Ratio Indonesia yang membandingkan penduduk kaya dan kurang mampu masih menduduki angka 0.32 pada tahun 2004, 0,36 pada tahun 2005 dan 0.33 pada tahun 2006.
Laporan MDGs (Millenium Development Goals atau Tujuan Pembangunan Milenium) pada tahun 2007 menunjukkan bahwa walaupun angka partisipasi kasar tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama menunjukkan perbaikan, tetapi jika dilihat dari tingkat kelompoj pengeluaran rumah tangga maka terdapat perbedaan antara kelompok rumah tangga kurang mampu dan kaya. Pada kelompok pengeluaran terbawah (kuantil 20% terbawah, 1) angka partisipasi kasar atau APK sekolah dasar pada tahun 1995 adalah 14,48% da mencapai 18,92% pada tahun 2006. APK sekolah dasar untuk kelompok pengeluaran terbawah ternyata berkembang lebih baik dari APK sekolah dasar untuk golongan pengeluaran teratas. Peristiwa yang sama juga terjadi pada APK sekolah menengah pertama antara tahun 1995 hingga 2006. APK sekolah menegah pertama tahun 1995 pada kelompok pengeluaran terbawah tercatat 44,39% dan menjadi 70,78% pada tahun 2006.
Dari data pendidikan di atas, terlihat bahwa perbaikan kesejahteraan rumah tangga berpengaruh pada akses terhadap pendidikan, terutama bagi keluarga yang mempunyai anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Kesenjangan partisipasi pendidikanyang sangat mencolok antara kelompok pengeluaran terbawah (keluarga miskin) dan kelompok pengeluaran teratas (keluarga kaya) ini menunjukkan perlunya peningkatan perharian pada kelompok keluarga miskin dalam memperoleh akses pendidikan. Hal inisejalan dengan hasil studi Balitbang Depdiknas pada 20006 yang menemukan bahwa faktor ketiadaan biaya masih dijumpai sebagai alas an penduduk usia sekolah tidak melanjutkan pendidikan mereka (www.depdiknas.go.id)
Dari sisi kesehatan, Angka Kematian Bayi (AKB) menurut proyeksi BPS pada tahun 2003 AKB terus membaik hingga mencapai 33,9 per 1000 kelahiran hidup. Meskipun terus menurun, AKB di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara angota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Selatan), yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kalilebih tinggi dari Thailand. Indonesia menduduki peringkat keenam tertinggi setelah Singapura (3 per 1000), Brunei Darussalam (8 per 1000), Malaysia (10 per 1000), Vietnam (18 per 1000) dan Thailand (20 per 1000).
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia telah mengalami penutunan menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002 sampai 2003 bila dibandingkan dengan angka tahun 1994 yang mencapai 390 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Tetapi akibat komplikasi kehamilan atau persalinan yang sepenuhnya dapat ditangani, masih terdapat 20.000 ibu yang meninggal setiap tahunnya dengan kondis ini pencapaian AKI baru mencpai 163 kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015, sedangkan target pada tahun 2015 adalah 102 per 100.000.
2.2. Pengertian, Tujuan dan Fungsi Ekonomi Makro
Setelah membaca data-data yang telah disajikan diatas kita sudah mempunyai gambaran mengenai pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di Indonesia yang menggambarkan pembangunan Indonesia. Dapat terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sangat berkaitan erat dan ternyata mereka juga berkaitan erat dengan ekonomi makro.
Sebelum melangkah lebih lanjut marilah kita mengenal ekonomi makro terlebih dahulu. Berikut adalah pengertian ekonomi makro dari berbagai sumber yang telah saya rangkum:
2.2.1. Karl E. Case dan Ray C. Fair (2007:1) menyatakan pada bukunya yang berjudul ”Prinsip-Prinsip Ekonomi” bahwa ilmu ekonomi makro tidak berfokus pada faktor yang mempengaruhi produksi produk tertentu dan perilaku industri individual, melainkan berfokus pada determinan atau penentu output  nasional total.
2.2.2. Eeng Ahman (2008:57) dalam bukunya yang berjudul “Membina Kompetensi untuk Kelas 10 menyatakan bahwa ilmu ekonomi makro adalah ilmu ekonomi yang mengkaji fenomena perekonomian secara menyeluruh atau luas.
2.2.3. Makroekonomi menjelaskan perubahan ekonomi yang memengaruhi banyak masyakarakat, perusahaan, dan pasar. Ekonomi makro dapat digunakan untuk menganalisis cara terbaik untuk memengaruhi target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_makro)
2.2.4. Ekonomi makro adalah suatu cabang ilmu ekonomi yang mengkhususkan, membahas mekanisme perekonomian secara keseluruhan. Makroekonomi menjelaskan perubahan ekonomi yang mempengaruhi banyak rumah tangga (household), perusahaan, dan pasar. Ekonomi makro dapat digunakan untuk menganalisis cara terbaik untuk mempengaruhi target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan. Dari pengertian tersebut di atas, telah tersiratkan tujuan-tujuan dari ekonomi makro atau makroekonomi. Tujuan-tujuan ekonomi makro yang telah saya rangkum adalah sebagai berikut:
2.2.1. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan produk nasional bruto (GNP) atas produk domestic bruto (GDP) yang merupakan ukuran dari kemampuan suatu perekonomian didalam memproduksi barang dan jasa dan mejadi ukuran standard hidup dan pertumbuhan pendapatan riil penduduk.
2.2.2. Menjelaskan penyebab timbulnya pengangguran dan cara mengatasinya.
2.2.3. Menjelaskan penyebab timbulnya inflasi dan cara mengatasinya.
2.2.4. Menjelaskan penyebab terjadinya ketidak seimbangan (defisit atau surplus) dalam pembayaran.
2.2.5. Menjelaskan penyebab naik turunnya tingkat bunga.
2.2.6. Menjelaskan penyebab fluktuasi nilai tukar uang dalam negri terhadap uang asing.
Selain tujuan, ekonomi makro juga memiliki fungsinya tersendiri. Fungsi ekonomi makro adalah sebagai berikut:
2.2.1. Membantu memecahkan resesi yang dihadapi suatu perekonomian.
2.2.2. Membantu pembuat kebijakan untuk meningkatkan petumbuhan ekonomi
2.2.3. Untuk menahan laju inflasi dan kestabilannya dalam krisi jangka pendek.
2.2.4. Menjelaskan bagaimana perubahan dalam suatu kebijakan mempengaruhi jenis-jenis barang yang dihasilkan dalam perekonomian.
Dapat dilihat dari pengertian, tujuan dan fungsinya, ekonomi makro mempunyai peranan penting dalam pembungan suatu negara termasuk negara Indonesia. Walaupun kurang terlihat jelas namun dari pengertian, tujuan dan fungsi ekonomi makro, terlihat bahwa ekonomi makro juga mempengaruhi data diatas seperti  laju inflasi, kebijakan pemerintah dan lain-lain.

2.3. Analisis Ekonomi dan Variabel Ekonomi Makro

Dalam penggunaan ilmu ekonomi makro untuk memenuhi tujuan dan fungsinya, ekonomi makro menggunakan analisis ekonomi. Analisis ekonomi yang berkaitan dengan ekonomi makro adalah:
2.3.1. Teori ekonomi (Analysa Economic), yakni ilmu ekonomi yang menerangkan hubungan peristiwa-peristiwa ekonomi kemudian merumuskan hubungan-hubungan itu dalam suatu hukum ekonomi.
Contoh :
2.3.1.1. Hukum Permintaan yaitu jika harga suatu barang naik maka jumlah barang yang diminta akan berkurang. Jika harga barang turun maka jumlah barang yang diminta akan bertambah.
2.3.1.2. Hukum Penawaran yaitu jika harga barang naik maka jumlah yang ditawarkan akan bertambah. Jika harga barang turun maka jumlah yang ditawarkan akan berkurang.
2.3.2. Ekonomi deskriptif (Descriptive Economics), yakni ilmu ekonomi yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari wujud dalam perekonomian.
Contohnya seperti keadaan petani di Jawa Tengah, inflasi yang meningkat pada tahun 1998, dan lain-lain.
2.3.3. Ekonomi terapan (Aplied Economics), yakni ilmu ekonomi yang mengkaji tentang kebijakan-kebijakan yang perlu dilaksanakan dalam mengatasi masalah-masalah ekonomi.
Contoh : Ekonomi Moneter, Ekonomi Koperasi, Ekonomi Perusahaan, dan lain-lain.
Semua analisis ekonomi di atas digunakan pada ekonomi makro untuk lebih mudah dalam merumuskan suatu masalah dan membuat kita lebih mudah memahaminya. Selain menggunakan analisis ekonomi, kita juga dapat mengaplikasikan metode ilmiah dan model ekonomi untuk membantu menyederhanakan masalah dan membantu menggambarkan masalah yang dihadapi ekonomi makro.
Variabel-variabel yang terdapat pada ekonomi makro bermacam-macam. Berikut adalah variabel ekonomi makro yang umum:
2.3.1. pendapatan nasional;
2.3.2. konsumsi rumah tangga;
2.3.3. saving / tabungan;
2.3.4. investasi;
2.3.5. harga-harga secara umum;
2.3.6. belanja pemerintah;
2.3.7. jumlah uang yang beredar dan inflasi;
2.3.8. tingkat bunga;
2.3.9. kesempatan kerja dan pengangguran;
2.3.10. neraca pembayaran (ekspor-impor);
2.3.11. kebijakan Pemerintah.
Semua variabel di atas sangat mempengaruhi pembangunan suatu negara. Variabel-variabel di atas juga saling berhubungan satu sama lainnya. Sebagai contoh, jika kesempatan kerja menurun atau jumlah penggangguran meninggkat maka pendapatan nasional akan menurun sebagai akibat dari berkurangnya pendapatan masyarakat. Jika pendapatan menurun maka jumlah tabungan juga akan menurun dan konsumsi rumah tangga akan diminimalisir. Investasi akan menurun. Sebagai akibat menurunnya pendapatan nasional maka belanja pemerintah juga akan berkurang. Selanjutnya akan terjadi inflasi yang akan membuat harga-harga secara umum naik. Pemerintah akan berusaha menanggulangi masalah melalui ekspor-impor dan kebijakannya. Semua itu akan berdampak buruk bagi pembangunan negara Indonesia.
Saya sebagai penulis ingin memperjelas mengenai kebijakan pemerintah dalam hubungannya dengan pembangunan negara. Dengan menggunakan kebijakan di bidang ekonomi, pemerintah mempunyai empat  kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:
2.3.1. Kebijakan   fiskal: salah satu cara bagi pemerintah dalam mempengaruhi perekonomian dan mengatur mobilisasi dana domestik melalui keputusan perpajakan dan pengeluaran atau perbelanjaan pemerintah.
2.3.2. Kebijakan moneter: salah satu cara bagi pemerintah untuk mengendalikan dan  mengarahkan perekonomian untuk menuju kondisi yang lebih baik dengan mengatur jumlah uang yang beredar dan tingkat suku bunga. Di Indonesia, kebijakan moneter digunakan oleh BI (Bank Indonesia).
2.3.3. Kebijakan perdagangan luar negri: salah satu cara pemerintah untuk mempengaruhi stuktur atau komposisi dan arah transaksi perdagangan serta pembayaran internasional melalui pembuatan peraturan.

2.4. Pengertian dan Tujuan dari Pembangunan

Setelah mengetahui dan mengenal lebih jauh mengenai ekonomi makro, mari kita mengenal pembangunan. Pembangunan juga memiliki pengertiannya sendiri. Pengertian ini penting karena tanpa mengerti pengertian tersebut bagaimana mungkin kita dapat menghubungkan ekonomi makro dengan pembangunan.
Pembangunan memiliki berbagai macam pengertian. Oleh karena itu saya merangkumkan beberapa pengertian pembangunan yang mengarah pada pembangunan suatu negara. Berikut adalah pengertian pembangunan yang telah saya rangkum:
2.4.1. Suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik (Rustiadi, 2006:vii-1).
2.4.2. Menurut Todaro (2003:28) pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi, dan institusional demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik.
Berdasarkan dua pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan suatu negara haruslah berawal dari masyarakat atau warga negaranya sendiri. Namun tentu saja tidak terlepas dari pemerintahan yang berkuasa. Pemerintahan yang berkuasa juga merupakan tanggung jawab dari masyarakat. Masyarakat harus dapat mengawasi pemerintah dan memilih wakil rakyat yang baik demi tercapainya pembangunan negara yang baik.
Setelah kita mengetahui pengertian dan indikator dari pembangunan, marilah kita mempelajari mengapa harus ada pembangunan atau apa tujuan dari pembangunan itu sendiri. Proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak harus memiliki tiga tujuan inti, yaitu:
2.5.1. pertama, peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan.
2.5.2. Kedua, peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan.
2.5.3. Ketiga, perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan.
Selain keitga tujuan di atas, tentu saja setiap negara bebas memiliki tujuan lain dalam pembangunan negaranya. Tujuan ini dapat berbeda-beda berdasarkan sejarah dari negara tersebut, kepribadian negara tersebut dan situasi dan kondisi dari negara tersebut.

2.5. Ukuran dari Pembangunan

Lalu bagaimanakah kita mengetahui apakah kita telah berhasil membangun negara kita? Ternyata, pembangunan suatu negara juga memiliki ukuran. Ukuran pembangunan tersebut telah dirumuskan oleh Amir (2007:147) sebagai berikut:
2.5.1. tingkat ketimpangan pendapatan;
2.5.2. penurunan jumlah kemiskinan;
2.5.3. penurunan tingkat pengangguran;
2.5.4. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, pembangunan ekonomi juga memiliki indikatornya tersendiri. Indikator pembangunan ekonomi ini dirumuskan oleh PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) yang disebut sebagai MDGs (Millenium Development Goals) yang telah disebutkan pada data di 2.1. di atas. Rumusan itu terdiri dari delapan indikator capaian pembangunan, yaitu sebagai berikut:
2.4.1. penghapusan kemiskinan;
2.4.2. pendidikan untuk semua;
2.4.3. persamaan gender;
2.4.4. perlawanan terhadap penyakit menular;
2.4.5. penurunan angka kematian anak;
2.4.6. peningkatan kesehatan ibu;
2.4.7. pelestarian lingkungan hidup;
2.4.8. kerja sama global. (www.undp.or.id)
Berdasarkan data pada 2.1. dapat kita lihat bahwa negara Indonesia belum dapat menghapus kemiskinan, menurunkan angka kematian anak dan ibu secara signifikan dan belum dapat memberikan pendidikan bagi semua golongan.
Asumsi dasar ekonomi makro mencakup variabel-variabel yang dinilai memiliki dampak signifikan terhadap postur APBN. Meskipun asumsi dasar tersebut hanya sebagai ancar-ancar dalam menghitung postur APBN, namun dalam kondisi tertentu, asumsi dasar tersebut dapat menjadi target yang harus dapat dicapai. Berkaitan dengan itu, menjaga stabilitas ekonomi makro menjadi keharusan dalam rangka mengamankan pelaksanaan APBN. Asumsi dasar ekonomi makro 2013 tersebut disusun dengan memperhatikan perkembangan hingga saat ini dan prospeknya ke depan. Dengan modal kinerja ekonomi Indonesia dalam lima tahun terakhir yang cukup menggembirakan, prospek kondisi ekonomi makro Indonesia ke depan diperkirakan berpotensi membaik. Dengan memperhatikan produk domestik bruto (PDB) yang mampu tumbuh rata-rata 5,9 persen per tahun dalam kurun waktu 2007–2011, di tahun 2012 dan 2013 ekonomi Indonesia diperkirakan akan dapat tumbuh di atas 6 persen. Inflasi dapat dikendalikan pada tingkat yang moderat, sejalan dengan target inflasi dari Bank Indonesia. Sejalan dengan itu, suku bunga juga mulai menunjukkan penurunan. Nilai tukar rupiah relatif stabil, meskipun sejak akhir 2011 mengalami pelemahan sebagai imbas dari krisis ekonomi global. Variabel lain yang dijadikan asumsi dasar ekonomi makro 2013 adalah terkait dengan perhitungan migas, baik dari sisi penerimaan maupun belanja. Variabel-variabel tersebut meliputi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price– ICP), lifting minyak,dan lifting gas. Variabel lifting gas baru mulai dimunculkan sebagai asumsi dasar sejak RAPBN 2013 ini, dalam rangka meningkatkan transparansi perhitungan penerimaan gas bumi. Harga minyak mentah Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, sehingga sulit untuk diprediksi. Lifting minyak dan gas sebenarnya didominasi oleh faktor internal, tetapi hal tersebut menjadi tantangan yang cukup kompleks mengingat pencapaian lifting minyak yang selalu di bawah target dalam beberapa tahun terakhir. Dengan mempertimbangkan berbagai fakta tersebut dengan seksama, asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam penyusunan postur RAPBN 2013 adalah sebagai berikut.

     I.   Pertumbuhan ekonomi diperkirakan sebesar 6,8 persen. Dari sisi penggunaan, pertumbuhan ekonomi 2013 diperkirakan didorong utamanya oleh konsumsi masyarakat danpemerintah, serta pembentukan modal tetap bruto (PMTB)/investasi. Dari sisi produksi, sektor pertanian, sektor industri  pengolahan, sektor konstruksi, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pengangkutan dan komunikasi diperkirakan masih tetap menjadi sektor pendorong pertumbuhan ekonomi.

   II.    Laju inflasi diharapkan dapat dikendalikan pada tingkat 4,9 persen. Hal tersebut diharapkan dapat dicapai melalui kelancaran pasokan dan distribusi barang dan jasa, membaiknya koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil yang didukung oleh meningkatnya kesadaran pemerintah daerah dalam upaya pengendalian inflasi.
  
  III. Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tahun 2013 diperkirakan sebesar Rp9.300/US$. Tekanan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah diperkirakan bersumber dari semakin menurunnya surplus neraca perdagangan Indonesia, serta perlambatan ekonomi di Cina, India, dan Brazil yang dikhawatirkan akan mengurangi daya tarik arus modal masuk ke negara emerging market dan mendorong terjadinya flight to quality
   
    IV. Tingkat suku bunga SPN 3 bulan di tahun 2013 diperkirakan sebesar 5,0 persen. Faktor- faktor yang menjadi pertimbangan antara lain adalah terkendalinya inflasi, nilai tukar,dan arus modal masuk ke Indonesia.  
    
    V.    Rata-rata harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) di pasar internasional diperkirakan mencapai sebesar US$100 per barel. Perkiraan tersebut antara lain didukung oleh proyeksi pertumbuhan permintaan minyak dan melambatnya pertumbuhan pasokan minyak dari negara-negara non-OPEC.
   
    VI. Lifting minyak dan gas bumi Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 2.260 ribu barel setara minyak, yang meliputi lifting minyak sebesar 900 ribu barel per hari, dan lifting gas bumi 1.360 ribu barel setara minyak. Mulai RAPBN 2013 ini, asumsi lifting gas disatukan dengan asumsi lifting minyak, antara lain dimaksudkan untuk menyelaraskan dengan program intensifikasi penggunaan sumber energi alternatif selain minyak, serta perbaikan perhitungan penerimaan dan belanja negara yang lebih rasional.
Perbaikan perhitungan tersebut didasarkan pada fakta yang menunjukkan bahwa upaya- upaya eksplorasi lapangan-lapangan migas pada tahun-tahun belakangan lebih banyak menemukan cadangan gas bumi. Perkembangan realisasi asumsi dasar ekonomi makro 2007–2011 dan proyeksinya di tahun 2012–2013 disajikan dalam

Tabel 1.1.

Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal sebagai kebijakan utama pemerintah yang diimplementasikan melalui APBN memiliki peran yang penting dan sangat strategis di dalam memengaruhi perekonomian, terutama dalam upaya mencapai target-target pembangunan nasional. Peran tersebut terkait dengan tiga fungsi utama pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. APBN harus didesain sesuai dengan fungsi tersebut, dalam upaya mendukung penciptaan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas. Fungsi alokasi


2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Real
Real
Real
real
Real
APBN
Outlook
RAPBN
a)  Pertumbuhan Ekonomi (%)
6,3

4,6

6,2
6,5

6,5

6,3

6,5

 6,8

2. I nflasi (%)

6,6
11,1
2,8
7,0
3,8
6,8
4,8
4,9
3. Nilai Tukar (Rp/US$)

9.140

9.691

10.408

9.087

8.779

9.000

9.250

9.300
4. Suku Bunga SPN 3 Bulan (%)

8,0
9,3
7,5
6,6
4,8
5,0
3,9
5,0
5. Harga Minyak ICP (US$/barel)

72,3

97,0

61,6

79,4

111,5

105,0

110,0

100,0
6. Lifting Minyak (ribu barel/hari)

904,0


871,0

944,0

953,9

898,5

930,0

900,0

900,0

7. Lifting Gas (mboepd)

-------
-------
-------
---------
--------
-------
--------
1,360


Postur RAPBN tahun 2013 disusun dengan kaidah ekonomi publik dalam rangka optimalisasi sumber sumber penerimaan negara disertai dengan pelaksanaan efisiensi dan efektivitas di bidang belanja negara dan ketersediaan pembiayaan anggaran. Selain mempertimbangkan asumsi dasar ekonomi makro, penetapan berbagai besaran postur RAPBN tahun 2013 juga memperhatikan kebutuhan untuk penyelenggaraan pemerintahan yang baik, kebijakan yang akan dilakukan ke depan, serta perkembangan realisasi APBN pada periode-periode sebelumnya.Selama periode 2007–2011, realisasi APBN mencatat defisit anggaran yang fluktuatif, sejalan perkembangan realisasi pendapatan negara dan belanja negara yang terjadi pada periode tersebut. Pada periode 2007–2011, realisasi pendapatan negara dan hibah berada pada kisaran 15,1 hingga 19,8 persen terhadap PDB, realisasi belanja negara pada kisaran 16,2 sampai 19,9 persen, dan realisasi defisit berada pada kisaran 0,1 persen sampai dengan 1,6 persen terhadap PDB.Selanjutnya, dalam APBNP tahun 2012, pendapatan negara diperkirakan mencapai Rp1.358,2 triliun, sedangkan belanja negara diperkirakan mencapai sebesar Rp1.548,3 triliun, sehingga diperkirakan terjadi defisit sebesar Rp190,1 triliun (2,23 persen terhadap PDB). Kebijakan anggaran ekspansif yang ditempuh Pemerintah hingga penetapan APBNP tahun 2012 tersebut masih akan diteruskan untuk tahun 2013. Berdasarkan arah dan strategi kebijakan fiskal, postur RAPBN 2013 akan meliputi pokok-pokok besaran sebagai berikut:

·         Pendapatan negara direncanakan mencapai Rp1.507,7 triliun, terdiri atas penerimaan perpajakan Rp1.178,9 triliun, PNBP Rp324,3 triliun, dan penerimaan hibah Rp4,5 triliun.
·         Belanja negara direncanakan sebesar Rp1.657,9 triliun, terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp1.139,0 triliun dan transfer ke daerah Rp518,9 triliun.
·         Defisit anggaran diperkirakan sebesar Rp150,2 triliun (1,62 persen terhadap PDB).
·         Pembiayaan defisit RAPBN 2013 direncanakan berasal dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri sebesar Rp169,6 triliun, dan pembiayaan luar negeri (neto) sebesar negatif Rp19,5 triliun. Ringkasan postur RAPBN tahun 2013.


Perekonomian nasional masih cukup kuat untuk menghadapi dampak krisis global yang, masih berlangsung hingga saat ini. Hal itu terbukti dengan tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2011. Sebaliknya, beberapa negara mengalami perlambatan atau bahkan pertumbuhan negatif. Selama lima tahun terakhir (2007-2011), ekonomi Indonesia mampu tumbuh rata-rata sebesar 5,9 persen (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya (2002-2006) yang tumbuh sebesar 5,1 persen (yoy). Pada tahun 2007, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 6,3 persen (yoy). Kemudian mengalami perlambatan pada tahun 2008 akibat krisis global dengan tumbuh 6,0 persen (yoy). sar 4,6 persen (yoy). Pada tahun 2010 perekonomian nasional kembali meningkat dan tumbuh sebesar 6,2 persen (yoy). Selanjutnya, di tahun 2011, perekonomian nasional kembali meningkat menjadi 6,5 persen (yoy) walaupun masih dibayangi dampak krisis global di Eropa (lihat Grafik 2.3). Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 mengalami peningkatan hingga mampu tumbuh 6,5 persen (yoy). Bayang-bayang dampak krisis utang yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa tidak berdampak terlalu signifikan pada perekonomian nasional. Permintaan domestik masih cukup kuat untuk menahan perlambatan yang terjadi di sisi eksternal. Sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di tahun 2011 berasal dari pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang tumbuh 8,8 persen (yoy), konsumsi rumah tangga tumbuh 4,7 persen (yoy), dan konsumsi pemerintah tumbuh 3,2 persen (yoy). Sementara itu, ekspor-impor mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu hanya
tumbuh 13,6 persen dan 13,3 persen (yoy) (Grafik 2.4). Dari sisi sektoral, pertumbuhan ekonomi 2011 didorong oleh sektor industri pengolahan yang mengalami pertumbuhan cukup tinggi yaitu mencapai 6,2 persen (yoy), serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang tumbuh sebesar 9,2 persen (yoy). Pada tahun 2011, konsumsi masyarakat tumbuh 4,7 persen (yoy), sama dengan pertumbuhan tahun 2010. Sejak kuartal pertama hingga kuartal terakhir tahun 2011, pertumbuhan konsumsi masyarakat menunjukkan tren yang semakin cepat. Hal tersebut menunjukkan adanya perbaikan daya beli masyarakat di sepanjang tahun 2011 sejalan dengan rendahnya inflasi di tahun tersebut. Pertumbuhan konsumsi masyarakat didorong oleh pertumbuhan konsumsi makanan dan bukan makanan, yang masing-masing tumbuh 3,8 persen (yoy) dan 5,5 persen (yoy). Konsumsi masyarakat memberikan kontribusi terbesar pada pertumbuhan ekonomi. Peran atau distribusinya dalam PDB mencapai 54,6 persen. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada pertumbuhan konsumsi pemerintah, yang pada tahun 2011 tumbuh 3,2 persen (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun
2010 yang hanya tumbuh 0,3 persen (yoy). Dorongan terhadap konsumsi pemerintah berasal
dari belanja barang dan belanja pegawai, yang masing-masing tumbuh sebesar 3,6 persen (yoy) dan 5,4 persen (yoy). Meningkatnya belanja pegawai terkait dengan pemberian remunerasi pada beberapa kementerian negara/lembaga. Walaupun terjadi peningkatan yang signifikan, kontribusi konsumsi pemerintah relatif kecil pada pertumbuhan ekonomi. Peran konsumsi pemerintah hanya mencapai 9,0 persen dari total PDB. Pertumbuhan pengeluaran investasi (pembentukan modal tetap bruto/PMTB) tahun 2011 menunjukkan sedikit peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu dari 8,5 persen (yoy) menjadi 8,8 persen (yoy). Peningkatan kinerja investasi tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan dalam bentuk investasi mesin dan perlengkapan yang berasal dari impor, serta alat angkut impor. Tren peningkatan konsumsi dalam negeri mendorong kebutuhan mesin-mesin baru untuk menjamin kecukupan kapasitas produksi ke depan. Sementara itu, pertumbuhan investasi alat angkut impor yang tinggi lebih didorong oleh pembelian sejumlah pesawat udara untuk mengimbangi aktivitas ekonomi dan hubungan antar berbagai wilayah yang meningkat pesat. Investasi bangunan sedikit mengalami perlambatan sejalan dengan pertumbuhan sektor konstruksi yang relatif tetap. Walaupun peran investasi terhadap PDB relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan konsumsi masyarakat, tetapi pengeluaran investasi mampu memberikan kontribusi yang cukup tinggi pada pertumbuhan ekonomi. Sedikit berbeda dengan yang terjadi pada komponen lainnya, pertumbuhan ekspor dan impor
barang dan jasa di tahun 2011 relatif melambat jika dibandingkan dengan tahun 2010. Tekanan pelemahan ekonomi global telah menyebabkan melambatnya kinerja ekspor Indonesia, yaitu dari pertumbuhan 15,3 persen (yoy) di tahun 2010 menjadi 13,6 persen (yoy) di tahun 2011. Hal yang sama terjadi pada pertumbuhan impor yang melambat dari 17,3 persen (yoy) di tahun 2010 menjadi 13,3 persen (yoy) di tahun 2011. Namun, perlambatan impor yang lebih besar daripada ekspor telah menyebabkan peningkatan ekspor neto menjadi 14,4 persen (yoy) di tahun 2011 dari 8,7 persen (yoy) di tahun sebelumnya. Bila dilihat lebih jauh, penurunan pertumbuhan ekspor dan impor barang baru terlihat jelas di kuartal IV 2011. Namun, dampak langsung dari perlambatan ekonomi Eropa terhadap ekspor Indonesia relatif kecil sebagai akibat rendahnya komposisi ekspor langsung ke negara-negara yang terkena krisis (lihat Tabel 2.1). Dari sisi penawaran, semua sektor ekonomi masih tumbuh positif di tahun 2011 walaupun beberapa sektor mengalami perlambatan. Sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor keuangan, serta sektor jasa mengalami peningkatan pertumbuhan. Sementara itu, empat sektor yang lain mengalami perlambatan, yaitu sektor pertambangan, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor konstruksi, serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Di sisi lain, sektor pertanian mengalami pertumbuhan konstan. Pertumbuhan tertinggi tetap terjadi pada sektor pengangkutan dan komunikasi yang tumbuh double digit sebesar 10,7 persen (yoy), melambat bila dibandingkan dengan tahun 2010 yang tumbuh sebesar 13,4 persen (yoy). Pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh subsektor komunikasi yang tumbuh 12,7 persen karena meningkatnya sarana komunikasi, baik dari sisi jenis maupun intensitas penggunaannya. Subsektor pengangkutan tumbuh sebesar 7,6 persen (yoy), didorong oleh tumbuhnya subsektor angkutan jalan raya dan subsektor angkutan laut, serta subsektor jasa penunjang angkutan yang masing-masing Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2013 tumbuh sebesar 6,6 persen (yoy), 2,8 persen (yoy), dan 6,8 persen (yoy). Meningkatnya jumlah penumpang dan beragamnya moda angkutan di jalan raya dan laut mendukung pertumbuhan subsektor tersebut. Sektor industri pengolahan di tahun 2011 tumbuh signifikan sebesar 6,2 persen (yoy). Sektor tersebut mengalami peningkatan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2010 yang sebesar 4,7 persen (yoy). Lonjakan pertumbuhan sektor itu didorong oleh pertumbuhan pada subsektor industri nonmigas yang mencapai 6,8 persen (yoy). Sementara itu, subsektor industri migas mengalami kontraksi sebesar 0,9 persen (yoy). Pertumbuhan subsektor industri nonmigas ditopang oleh industri logam dasar, besi dan baja, industri makanan, minuman, dan tembakau, serta industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki. Ketiga subsektor itu masing-masing tumbuh sebesar 13,1 persen (yoy), 9,2 persen (yoy), dan 7,5 persen (yoy). Kontraksi pada subsektor industri nonmigas terutama didorong oleh minusnya pertumbuhan pada industri gas alam cair (lihat  Tabel 2.2). Sektor perdagangan, hotel, dan restoran mengalami peningkatan pertumbuhan dari 8,7 persen (yoy) di tahun 2010 menjadi 9,2 persen (yoy) di tahun 2011. Pertumbuhan sektor itu ditopang oleh kinerja subsektor perdagangan besar dan eceran yang tumbuh 10,0 persen (yoy). Sementara itu, subsektor hotel dan subsektor restoran masing-masing tumbuh 9,0 persen (yoy) dan 4,1 persen (yoy). Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan di tahun 2011 mengalami pertumbuhan yang tetap atau sama dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar 3,0 persen (yoy). Dorongan pada sektor pertanian berasal dari subsektor perikanan sebesar 6,7 persen (yoy). Sementara itu, subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi kontributor  utama


PENGELUARAN
Distribusi (%)
Kontribusi (%)
2010
2011
2010
2011
Konsumsi Masyarakat

56,6

54,6

2,7

2,7

Konsumsi Pemerintah

9,0

9,0

0,0


0,3

PMTB

32,1

32,0

32,0

2,1

Ekspor

24,6

26,3

6,5

6,3

Impor

24,9

24,9

5,6


4,8

Sektor
Pertanian

15,3

14,7

0,4

0,4

Pertambangan

11,2

11,9

0,3

0,1

Industri

24,8

24,3

1,2



1,6

Listrik, gas, dan air bersih

0,8


0,7

0,0

0,0

Konstruksi

10,3

10,2

0,4

0,4

Perdagangan, hotel dan restoran

13,7

13,8

1,5

1,6

Pengangkutan dan komunikasi

6,6

6,6

1,2

1,0

Keuangan, Real Estat & Jasa Perusahaan

7,2

7,2

0,5

0,7

Jasa

10,2

10,5

0,6

0,6

Sumber: Badan Pusat Statistik

Tumbuh sebesar 6,6 persen (yoy), 2,8 persen (yoy), dan 6,8 persen (yoy). Meningkatnya jumlah penumpang dan beragamnya moda angkutan di jalan raya dan laut mendukung pertumbuhan subsektor tersebut. Sektor industri pengolahan di tahun 2011 tumbuh signifikan sebesar 6,2 persen (yoy). Sektor tersebut mengalami peningkatan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2010 yang sebesar 4,7 persen (yoy). Lonjakan pertumbuhan sektor itu didorong oleh pertumbuhan pada subsektor industri nonmigas yang mencapai 6,8 persen (yoy). Sementara itu, subsektor industri migas mengalami kontraksi sebesar 0,9 persen (yoy). Pertumbuhan subsektor industri nonmigas ditopang oleh industri logam dasar, besi dan baja, industri makanan, minuman, dan tembakau, serta industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki. Ketiga subsektor itu masing-masing tumbuh sebesar 13,1 persen (yoy), 9,2 persen (yoy), dan 7,5 persen (yoy). Kontraksi pada subsektor industri nonmigas terutama didorong oleh minusnya pertumbuhan pada industri gas alam cair (lihat  Tabel 2.).
Sektor perdagangan, hotel, dan restoran mengalami peningkatan pertumbuhan dari 8,7 persen (yoy) di tahun 2010 menjadi 9,2 persen (yoy) di tahun 2011. Pertumbuhan sektor itu ditopang oleh kinerja subsektor perdagangan besar dan eceran yang tumbuh 10,0 persen (yoy). Sementara itu, subsektor hotel dan subsektor restoran masing-masing tumbuh 9,0 persen (yoy) dan 4,1 persen (yoy). Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan di tahun 2011 mengalami pertumbuhan yang tetap atau sama dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar 3,0 persen (yoy). Dorongan pada sektor pertanian berasal dari subsektor perikanan sebesar 6,7 persen (yoy). Sementara itu, subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi kontributor utama serta Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2013 2-7 Nota Keuangan dan RAPBN 2013 pertumbuhan sektor itu mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari 1,6 persen (yoy) menjadi 1,3 persen (yoy). Melambatnya pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan dikarenakan pengaruh gangguan cuaca yang menyebabkan penurunan pada produksi pertanian terutama padi. Nilai Tukar Rupiah Pada tahun 2007, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil, yaitu rata-rata sebesar Rp9.136 per dolar AS. Pergerakan itu mengikuti tren penguatan tahun sebelumnya. Hingga kuartal ketiga tahun 2008, nilai tukar rupiah masih bergerak relatif stabil pada kisaran Rp9.051 hingga Rp9.500 per dolar AS. Memasuki kuartal keempat tahun 2008, nilai tukar rupiah mulai mengalami tekanan seiring dengan perlambatan ekonomi dunia sebagai dampak krisis keuangan global dan gejolak harga komoditas di pasar internasional. Pada periode tersebut volatilitas rupiah cenderung meningkat dan bergerak pada kisaran Rp9.500 hingga Rp12.400 per dolar AS. Hingga akhir tahun 2008, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada pada kisaran Rp9.678,3 per dolar AS, melemah sekitar 5,9 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hingga kuartal I tahun 2009, depresiasi nilai tukar rupiah masih terus berlanjut hingga menyentuh level terendah pada 6 Maret 2009 sebesar Rp12.065 per dolar AS sebagai imbas kekhawatiran terhadap meluasnya krisis keuangan global. Namun, secara bertahap mulai kuartal II tahun 2009, nilai tukar rupiah mengalami penguatan hingga mencapai nilai tertinggi pada 8 Juni 2009 sebesar Rp9.985 per dolar AS. Penguatan nilai tukar rupiah tersebut sejalan dengan kondisi fundamental perekonomian yang semakin membaik serta


Sektor
2007
2008
2009
2010
2011
Pertanian
3,5

4,8

4,0

3,0

3,0

Pertambangan
1,9

0,7

4,5

3,6

1,4

Industri Pengolahan
4,7

3,7

2,2

4,7

6,220

Listrik, Gas Dan Air Bersih
1 0,3

10,9

14,3

5,3

4,8

Kontruski
8,5

7,6

7,1

7,0

6,7

Perdagangan, Hotel, Restoran
8,9

6,9

1 ,3

8,7

9,2

Pengangkutan dan komunikasi
1 4,0

16,6

15,8

1 3,4

10,7

Keuangan, Real Estat & Jasa Perusahaan
8,0

8,2
5,2

5,7

6,8


Jasa

6,4

6,2


6,4

6,0

6,7


- S u m b er : Ba da n Pu sa t S t a t ist ik

pertumbuhan sektor itu mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari 1,6 persen (yoy) menjadi 1,3 persen (yoy). Melambatnya pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan dikarenakan pengaruh gangguan cuaca yang menyebabkan penurunan pada produksi pertanian terutama padi. Nilai Tukar Rupiah Pada tahun 2007, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil, yaitu rata-rata sebesar Rp9.136 per dolar AS. Pergerakan itu mengikuti tren penguatan tahun sebelumnya. Hingga kuartal ketiga tahun 2008, nilai tukar rupiah masih bergerak relatif stabil pada kisaran Rp9.051 hingga Rp9.500 per dolar AS. Memasuki kuartal keempat tahun 2008, nilai tukar rupiah mulai mengalami tekanan seiring dengan perlambatan ekonomi dunia sebagai dampak krisis keuangan global dan gejolak harga komoditas di pasar internasional. Pada periode tersebut volatilitas rupiah cenderung meningkat dan bergerak pada kisaran Rp9.500 hingga Rp12.400 per dolar AS. Hingga akhir tahun 2008, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada pada kisaran Rp9.678,3 per dolar AS, melemah sekitar 5,9 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hingga kuartal I tahun 2009, depresiasi nilai tukar rupiah masih terus berlanjut hingga menyentuh level terendah pada 6 Maret 2009 sebesar Rp12.065 per dolar AS sebagai imbas kekhawatiran terhadap meluasnya krisis keuangan global. Namun, secara bertahap mulai kuartal II tahun 2009, nilai tukar rupiah mengalami penguatan hingga mencapai nilai tertinggi pada 8 Juni 2009 sebesar Rp9.985 per dolar AS. Penguatan nilai tukar rupiah tersebut sejalan dengan kondisi fundamental perekonomian yang semakin membaik serta keseimbangan permintaan dan penawaran valuta asing di pasar domestik. Di samping itu, jumlah cadangan devisa yang meningkat dan imbal hasil rupiah yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan  peer countries  telah memberikan sinyal positif kepada investor mengenai ketahanan perekonomian Indonesia terhadap guncangan di pasar internasional. Sampai dengan akhir tahun 2009, rata-rata nilai tukar rupiah berada pada Rp10.399 per dolar AS atau mengalami pelemahan sekitar 7,4 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Derasnya arus modal asing yang masuk serta keseimbangan permintaan dan penawaran valuta asing di pasar domestik telah mendorong relatif stabilnya pergerakan nilai tukar rupiah selama tahun 2010. Nilai tukar rupiah sempat mengalami tekanan pada kuartal I tahun 2010 sebagai imbas sentimen negatif pelaku pasar terhadap defisit fiskal Yunani yang dikhawatirkan merambat ke negara-negara Eropa lainnya. Namun, seiring dengan optimisme pemulihan ekonomi global yang terus berlangsung, kondisi fundamental perekonomian di kawasan Asia yang membaik, imbal hasil rupiah yang menarik, serta derasnya arus modal masuk ke pasar domestik telah mendorong penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sepanjang 2010 dengan rata-rata Rp9.085 per dolar AS, menguat 12,7 persen bila dibandingkan dengan rata-rata tahun sebelumnya. Tren positif penguatan nilai tukar rupiah selama tahun 2010 tersebut terus berlangsung hingga tahun 2011. Masih berlangsungnya proses pemulihan ekonomi di Amerika Serikat serta belum adanya kepastian mengenai proses pemulihan ekonomi di Eropa, mendorong investor mengalihkan investasinya ke negara- negara  emerging markets, termasuk Indonesia. Imbal hasil rupiah yang kompetitif serta meningkatnya  credit rating Indonesia pada level  investment grade menjadi daya tarik investasi sehingga mendorong peningkatan arus modal masuk ke pasar domestik  Rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2011 bergerak stabil pada kisaran Rp8.779 perdolar AS, menguat 3,4 persen bila dibandingkan dengan rata-rata tahun sebelumnya (lihat Grafik 2.5). Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, Pemerintah dan Bank Indonesia terus berupaya meningkatkan koordinasi dan penguatan sinergi kebijakan moneter, fiskal dan sektoral, penerapan kebijakan moneter yang berhati-hati, serta pengawasan lalu lintas devisa. Kebijakan tersebut diharapkan mampu menjaga stabilitas nilai tukar dan mencegah volatilitas yang berlebihan serta menjaga kecukupan cadangan devisa untuk memenuhi kebutuhan fundamental perekonomian. Kebijakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar juga diarahkan sebagai langkah antisipasi untuk mencegah terjadinya pembalikan modal ( sudden reversal ) yang dapat mendorong terulangnya krisis ekonomi Asia tahun 1997-1998. Di samping itu, peningkatan koordinasi kebijakan serta peningkatan efektivitas peraturan dan  monitoring lalu lintas devisa terus dilakukan untuk menopang kebijakan moneter tersebut. Kebijakan tersebut dilakukan secara simultan dengan mengakomodasi kebijakan nilai tukar yang lebih fleksibel dengan tetap memerhatikan tren nilai tukar negara-negara kawasan agar daya saing rupiah tetap terjaga. Di tingkat internasional dan regional, komitmen untuk mempercepat pemulihan ekonomi disertai dengan perjanjian kerja sama bidang keuangan semakin memperkuat upaya pemulihan ekonomi global dan regional. Inflasi Perkembangan laju inflasi Indonesia selama beberapa tahun terakhir sangat dipengaruhi oleh volatilitas harga komoditas energi dan bahan pangan di pasar internasional. Volatilitas harga komoditas tersebut di pasar internasional muncul karena adanya gangguan produksi di negara-negara produsen sebagai dampak anomali iklim, bencana alam, dan konflik geopolitik. Adanya gangguan produksi tersebut mendorong peningkatan tekanan  output gap di pasar internasional yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya gejolak harga komoditas sejenis di pasar dalam negeri. Laju inflasi tahun 2007 bergerak relatif stabil pada level 6,6 persen (yoy), sejalan dengan stabilnya harga komoditas energi dan bahan pangan di pasar dunia yang mendorong minimalnya kebijakan pemerintah di bidang harga. Sementara itu, di tahun 2008, lonjakan harga energi dan bahan pangan di pasar internasional, telah mendorong Pemerintah melaksanakan kebijakan penyesuaian harga BBM pada Juni 2008. Tekanan harga komoditas energi dan bahan pangan di pasar internasional dan domestik tersebut menyebabkan peningkatan laju inflasi tahun 2008 pada level 11,06 persen (yoy) (lihat Grafik 2.6). Pada tahun 2009, laju inflasi menunjukkan penurunan tajam ke level 2,78 persen (yoy), yang antara lain disebabkan oleh penurunan harga komoditas energi internasional, khususnya minyak mentah. Kondisi tersebut mendorong Pemerintah menurunkan harga BBM pada akhir tahun 2009 sebagai kelanjutan dari penurunan harga BBM pada akhir tahun 2008. Meningkatnya harga komoditas bahan pangan dan energi di pasar internasional pada tahun 2010 kembali mendorong peningkatan laju inflasi hingga mencapai level 6,96 persen (yoy). Tekanan inflasi dari sumber eksternal tersebut memperberat laju inflasi domestik mengingat pada saat yang bersamaan, pasar dalam negeri juga mengalami gangguan pasokan bahan pangan dan energi sebagai dampak dan serangkaian bencana alam yang terjadi di beberapa wilayah sentra produksi. Tekanan tersebut menimbulkan dorongan peningkatan harga komoditas bahan pangan dan energi di pasar dalam negeri sehingga meningkatkan inflasi tahun 2010

Trace








Flag Counter