Minggu, 02 Februari 2014
Ekonomi Mikro Indonesia
06.01 |
Diposting oleh
Indra S.E.,Amd.Informatika |
Edit Entri
ANALISIS
VARIABEL MAKRO EKONOMI DI INDONESIA
Data Pertumbuhan Ekonomi dan
Kesejahteraan di Indonesia
Dalam memulai Bab II Tinjauan
Teori ini, saya sebagai penulis ingin menyajikan data-data mengenai pertumbuhan
ekonomi di Indonesia pada era reformasi dan berbagai hal yang bersangkutan
dengan kesejahteraan masyarakatnya yang berhubungan erat dengan pembangunan
Indonesia. Data ini bertujuan untuk memberikan gambaran pada pembaca dan saya
sebagai penulis tentang keadaan Indonesia pada era reformasi sehingga pada saat
kita mempelajari teori- teori yang telah ada, kita mempunyai contoh dan
gambarannya.
Data BPS atau Badan Pusat
Statistik menunjukkan presentaase pengeluaran rumah tangga atau RT untuk
kebutuhan pangan pada tahun 2004 mencapai 54,59%. pada tahun 2005. Persentase
tersebut turun menjadi 51,37% dan kembali naik pada tahun 2006 menjadi 53,01%.
Pengeluaran untuk kebutuhan pangan ini erat kaitannya dengan distribusi
pendapatan masyarakat. Tercatat pula bahwa 40% populasi di Indonesia
berpendapatan rendah juga fluktuatif atau tidak tetap.
Sementara itu, pengeluaran rumah
tangga untuk kebutuhan non-pangan pada tahun 2004 mencapai 45,42%, pada 2005
naik menjadi 48,63% dan pada 2006 turun kembali menjadi 46,99%. Data ini
menunjukkan bahwa pengeluaran kebutuhan pangan rumah tangga di Indonesia lebih
besar dibandingkan pengeluaran kebutuhan non-pangan. Data ini mencirikan bahwa
Indonesia masih termasuk negara berkembang dimana pengeluaran kebutuhan pangan
atau (autonomous consumption) lebih besar disbanding dengan
pengeluaran kebutuhan non-pangan seperti untuk liburan, hiburan dan lain-lain.
Terlihat dari dua data di atas,
dari tahun 2004 sampai 2006 mengalami kemajuan. Walau sempat mengalami
kemunduran dari 2005 ke 2006 namun pada akhirnya presentase 2006 menunjukkan
perkembangan positif. Pada data awal terlihat bahwa pengeluaran kebutuhan
pangan menurun. Hal ini tidak mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia
tiba-tiba mengurangi jumlah konsumsi pangan mereka secara serentak namun
pendapatan mereka naik sehingga presentase pengeluaran kebutuhan pangan mereka
dari keseluruhan pendapatan mereka menurun.
Namun di Indonesia sangat
terlihat kesenjangan ekonomi pada masyarakatnya. Dikhawatirkan presentase
pertumbuhan ekonomi tersebut hanya untuk beberapa kalangan saja. Kekhawatiran
tersebut dibuktikan oleh data BPS pada tahun 2004 di mana sebesar 40%
masyarakat hanya menikmati 20,80% pendapatannya. Pada tahun 2005 presentase
tersebut turun menjadi 18,81% dan naik pada tahun 2006 menjadi 19,75%. Terlihat
bahwa presentase dari 2004 ke 2006 mengalami penurunan. Hal ini sangat tidak
sebanding dengan 20% masyarakat golongan kaya yang bisa menikmati pendapatan
mereka sampai pada 42,07% pada 2004, 44,78% pada 2005 dan 42,15% pada 2006.
Inilah sebabnya mengapa Gini Ratio Indonesia yang membandingkan penduduk kaya
dan kurang mampu masih menduduki angka 0.32 pada tahun 2004, 0,36 pada tahun
2005 dan 0.33 pada tahun 2006.
Laporan MDGs (Millenium
Development Goals atau Tujuan Pembangunan Milenium) pada tahun 2007
menunjukkan bahwa walaupun angka partisipasi kasar tingkat sekolah dasar maupun
sekolah menengah pertama menunjukkan perbaikan, tetapi jika dilihat dari
tingkat kelompoj pengeluaran rumah tangga maka terdapat perbedaan antara
kelompok rumah tangga kurang mampu dan kaya. Pada kelompok pengeluaran terbawah
(kuantil 20% terbawah, 1) angka partisipasi kasar atau APK sekolah dasar pada
tahun 1995 adalah 14,48% da mencapai 18,92% pada tahun 2006. APK sekolah dasar
untuk kelompok pengeluaran terbawah ternyata berkembang lebih baik dari APK
sekolah dasar untuk golongan pengeluaran teratas. Peristiwa yang sama juga
terjadi pada APK sekolah menengah pertama antara tahun 1995 hingga 2006. APK
sekolah menegah pertama tahun 1995 pada kelompok pengeluaran terbawah tercatat
44,39% dan menjadi 70,78% pada tahun 2006.
Dari data pendidikan di atas,
terlihat bahwa perbaikan kesejahteraan rumah tangga berpengaruh pada akses
terhadap pendidikan, terutama bagi keluarga yang mempunyai anak usia sekolah
dasar dan sekolah menengah pertama. Kesenjangan partisipasi pendidikanyang
sangat mencolok antara kelompok pengeluaran terbawah (keluarga miskin) dan
kelompok pengeluaran teratas (keluarga kaya) ini menunjukkan perlunya
peningkatan perharian pada kelompok keluarga miskin dalam memperoleh akses
pendidikan. Hal inisejalan dengan hasil studi Balitbang Depdiknas pada 20006
yang menemukan bahwa faktor ketiadaan biaya masih dijumpai sebagai alas an
penduduk usia sekolah tidak melanjutkan pendidikan mereka (www.depdiknas.go.id)
Dari sisi kesehatan, Angka
Kematian Bayi (AKB) menurut proyeksi BPS pada tahun 2003 AKB terus membaik
hingga mencapai 33,9 per 1000 kelahiran hidup. Meskipun terus menurun, AKB di
Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara angota ASEAN
(Association of Southeast Asian Nations atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia
Selatan), yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari
Filipina, dan 1,8 kalilebih tinggi dari Thailand. Indonesia menduduki peringkat
keenam tertinggi setelah Singapura (3 per 1000), Brunei Darussalam (8 per
1000), Malaysia (10 per 1000), Vietnam (18 per 1000) dan Thailand (20 per
1000).
Angka Kematian Ibu (AKI) di
Indonesia telah mengalami penutunan menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup
pada tahun 2002 sampai 2003 bila dibandingkan dengan angka tahun 1994 yang
mencapai 390 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Tetapi akibat komplikasi
kehamilan atau persalinan yang sepenuhnya dapat ditangani, masih terdapat
20.000 ibu yang meninggal setiap tahunnya dengan kondis ini pencapaian AKI baru
mencpai 163 kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2015, sedangkan target pada tahun 2015 adalah 102 per 100.000.
2.2. Pengertian, Tujuan
dan Fungsi Ekonomi Makro
Setelah membaca data-data yang
telah disajikan diatas kita sudah mempunyai gambaran mengenai pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan di Indonesia yang menggambarkan pembangunan
Indonesia. Dapat terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sangat
berkaitan erat dan ternyata mereka juga berkaitan erat dengan ekonomi makro.
Sebelum melangkah lebih lanjut
marilah kita mengenal ekonomi makro terlebih dahulu. Berikut adalah pengertian
ekonomi makro dari berbagai sumber yang telah saya rangkum:
2.2.1. Karl E. Case dan Ray C.
Fair (2007:1) menyatakan pada bukunya yang berjudul ”Prinsip-Prinsip Ekonomi”
bahwa ilmu ekonomi makro tidak berfokus pada faktor yang mempengaruhi produksi
produk tertentu dan perilaku industri individual, melainkan berfokus pada
determinan atau penentu output nasional total.
2.2.2. Eeng Ahman (2008:57)
dalam bukunya yang berjudul “Membina Kompetensi untuk Kelas 10 menyatakan bahwa
ilmu ekonomi makro adalah ilmu ekonomi yang mengkaji fenomena perekonomian
secara menyeluruh atau luas.
2.2.3. Makroekonomi menjelaskan
perubahan ekonomi yang memengaruhi banyak masyakarakat, perusahaan, dan pasar.
Ekonomi makro dapat digunakan untuk menganalisis cara terbaik untuk memengaruhi
target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga,
tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_makro)
2.2.4. Ekonomi makro adalah
suatu cabang ilmu ekonomi yang mengkhususkan, membahas mekanisme perekonomian
secara keseluruhan. Makroekonomi menjelaskan perubahan ekonomi yang
mempengaruhi banyak rumah tangga (household), perusahaan, dan pasar. Ekonomi
makro dapat digunakan untuk menganalisis cara terbaik untuk mempengaruhi
target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga,
tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan. Dari
pengertian tersebut di atas, telah tersiratkan tujuan-tujuan dari ekonomi makro
atau makroekonomi. Tujuan-tujuan ekonomi makro yang telah saya rangkum adalah
sebagai berikut:
2.2.1. Menjelaskan faktor-faktor
yang mempengaruhi laju pertumbuhan produk nasional bruto (GNP) atas produk
domestic bruto (GDP) yang merupakan ukuran dari kemampuan suatu perekonomian
didalam memproduksi barang dan jasa dan mejadi ukuran standard hidup dan
pertumbuhan pendapatan riil penduduk.
2.2.2. Menjelaskan penyebab
timbulnya pengangguran dan cara mengatasinya.
2.2.3. Menjelaskan penyebab
timbulnya inflasi dan cara mengatasinya.
2.2.4. Menjelaskan penyebab
terjadinya ketidak seimbangan (defisit atau surplus) dalam pembayaran.
2.2.5. Menjelaskan penyebab naik
turunnya tingkat bunga.
2.2.6. Menjelaskan penyebab
fluktuasi nilai tukar uang dalam negri terhadap uang asing.
Selain tujuan, ekonomi makro
juga memiliki fungsinya tersendiri. Fungsi ekonomi makro adalah sebagai
berikut:
2.2.1. Membantu memecahkan
resesi yang dihadapi suatu perekonomian.
2.2.2. Membantu pembuat
kebijakan untuk meningkatkan petumbuhan ekonomi
2.2.3. Untuk menahan laju
inflasi dan kestabilannya dalam krisi jangka pendek.
2.2.4. Menjelaskan bagaimana
perubahan dalam suatu kebijakan mempengaruhi jenis-jenis barang yang dihasilkan
dalam perekonomian.
Dapat dilihat dari pengertian,
tujuan dan fungsinya, ekonomi makro mempunyai peranan penting dalam pembungan
suatu negara termasuk negara Indonesia. Walaupun kurang terlihat jelas namun
dari pengertian, tujuan dan fungsi ekonomi makro, terlihat bahwa ekonomi makro
juga mempengaruhi data diatas seperti laju inflasi, kebijakan pemerintah
dan lain-lain.
2.3. Analisis Ekonomi
dan Variabel Ekonomi Makro
Dalam penggunaan ilmu ekonomi
makro untuk memenuhi tujuan dan fungsinya, ekonomi makro menggunakan analisis
ekonomi. Analisis ekonomi yang berkaitan dengan ekonomi makro adalah:
2.3.1. Teori ekonomi (Analysa
Economic), yakni ilmu ekonomi yang menerangkan hubungan
peristiwa-peristiwa ekonomi kemudian merumuskan hubungan-hubungan itu dalam
suatu hukum ekonomi.
Contoh :
2.3.1.1. Hukum Permintaan yaitu
jika harga suatu barang naik maka jumlah barang yang diminta akan berkurang.
Jika harga barang turun maka jumlah barang yang diminta akan bertambah.
2.3.1.2. Hukum Penawaran yaitu
jika harga barang naik maka jumlah yang ditawarkan akan bertambah. Jika harga
barang turun maka jumlah yang ditawarkan akan berkurang.
2.3.2. Ekonomi deskriptif (Descriptive
Economics), yakni ilmu ekonomi yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya
dari wujud dalam perekonomian.
Contohnya seperti keadaan petani
di Jawa Tengah, inflasi yang meningkat pada tahun 1998, dan lain-lain.
2.3.3. Ekonomi terapan (Aplied
Economics), yakni ilmu ekonomi yang mengkaji tentang kebijakan-kebijakan
yang perlu dilaksanakan dalam mengatasi masalah-masalah ekonomi.
Contoh : Ekonomi Moneter,
Ekonomi Koperasi, Ekonomi Perusahaan, dan lain-lain.
Semua analisis ekonomi di atas
digunakan pada ekonomi makro untuk lebih mudah dalam merumuskan suatu masalah
dan membuat kita lebih mudah memahaminya. Selain menggunakan analisis ekonomi,
kita juga dapat mengaplikasikan metode ilmiah dan model ekonomi untuk membantu
menyederhanakan masalah dan membantu menggambarkan masalah yang dihadapi
ekonomi makro.
Variabel-variabel yang terdapat
pada ekonomi makro bermacam-macam. Berikut adalah variabel ekonomi makro yang
umum:
2.3.1. pendapatan nasional;
2.3.2. konsumsi rumah tangga;
2.3.3. saving /
tabungan;
2.3.4. investasi;
2.3.5. harga-harga secara umum;
2.3.6. belanja pemerintah;
2.3.7. jumlah uang yang beredar
dan inflasi;
2.3.8. tingkat bunga;
2.3.9. kesempatan kerja dan
pengangguran;
2.3.10. neraca pembayaran
(ekspor-impor);
2.3.11. kebijakan Pemerintah.
Semua variabel di atas sangat
mempengaruhi pembangunan suatu negara. Variabel-variabel di atas juga saling
berhubungan satu sama lainnya. Sebagai contoh, jika kesempatan kerja menurun
atau jumlah penggangguran meninggkat maka pendapatan nasional akan menurun
sebagai akibat dari berkurangnya pendapatan masyarakat. Jika pendapatan menurun
maka jumlah tabungan juga akan menurun dan konsumsi rumah tangga akan
diminimalisir. Investasi akan menurun. Sebagai akibat menurunnya pendapatan
nasional maka belanja pemerintah juga akan berkurang. Selanjutnya akan terjadi
inflasi yang akan membuat harga-harga secara umum naik. Pemerintah akan
berusaha menanggulangi masalah melalui ekspor-impor dan kebijakannya. Semua itu
akan berdampak buruk bagi pembangunan negara Indonesia.
Saya sebagai penulis ingin
memperjelas mengenai kebijakan pemerintah dalam hubungannya dengan pembangunan
negara. Dengan menggunakan kebijakan di bidang ekonomi, pemerintah mempunyai
empat kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:
2.3.1. Kebijakan
fiskal: salah satu cara bagi pemerintah dalam mempengaruhi perekonomian
dan mengatur mobilisasi dana domestik melalui keputusan perpajakan dan
pengeluaran atau perbelanjaan pemerintah.
2.3.2. Kebijakan moneter: salah
satu cara bagi pemerintah untuk mengendalikan dan mengarahkan
perekonomian untuk menuju kondisi yang lebih baik dengan mengatur jumlah uang
yang beredar dan tingkat suku bunga. Di Indonesia, kebijakan moneter digunakan
oleh BI (Bank Indonesia).
2.3.3. Kebijakan perdagangan
luar negri: salah satu cara pemerintah untuk mempengaruhi stuktur atau
komposisi dan arah transaksi perdagangan serta pembayaran internasional melalui
pembuatan peraturan.
2.4. Pengertian dan
Tujuan dari Pembangunan
Setelah mengetahui dan mengenal
lebih jauh mengenai ekonomi makro, mari kita mengenal pembangunan. Pembangunan
juga memiliki pengertiannya sendiri. Pengertian ini penting karena tanpa
mengerti pengertian tersebut bagaimana mungkin kita dapat menghubungkan ekonomi
makro dengan pembangunan.
Pembangunan memiliki berbagai
macam pengertian. Oleh karena itu saya merangkumkan beberapa pengertian
pembangunan yang mengarah pada pembangunan suatu negara. Berikut adalah
pengertian pembangunan yang telah saya rangkum:
2.4.1. Suatu proses pembangunan
dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan
keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian
aspirasi setiap warga yang paling humanistik (Rustiadi, 2006:vii-1).
2.4.2. Menurut Todaro (2003:28)
pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat
untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses sosial,
ekonomi, dan institusional demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik.
Berdasarkan dua pengertian
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan suatu negara haruslah berawal
dari masyarakat atau warga negaranya sendiri. Namun tentu saja tidak terlepas
dari pemerintahan yang berkuasa. Pemerintahan yang berkuasa juga merupakan
tanggung jawab dari masyarakat. Masyarakat harus dapat mengawasi pemerintah dan
memilih wakil rakyat yang baik demi tercapainya pembangunan negara yang baik.
Setelah kita mengetahui
pengertian dan indikator dari pembangunan, marilah kita mempelajari mengapa
harus ada pembangunan atau apa tujuan dari pembangunan itu sendiri. Proses
pembangunan di semua masyarakat paling tidak harus memiliki tiga tujuan inti,
yaitu:
2.5.1. pertama, peningkatan
ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup
yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan.
2.5.2. Kedua, peningkatan
standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga
meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan,
serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya
itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga
menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan.
2.5.3. Ketiga, perluasan
pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara
keseluruhan.
Selain keitga tujuan di atas,
tentu saja setiap negara bebas memiliki tujuan lain dalam pembangunan
negaranya. Tujuan ini dapat berbeda-beda berdasarkan sejarah dari negara
tersebut, kepribadian negara tersebut dan situasi dan kondisi dari negara tersebut.
2.5. Ukuran dari
Pembangunan
Lalu bagaimanakah kita
mengetahui apakah kita telah berhasil membangun negara kita? Ternyata,
pembangunan suatu negara juga memiliki ukuran. Ukuran pembangunan tersebut
telah dirumuskan oleh Amir (2007:147) sebagai berikut:
2.5.1. tingkat ketimpangan
pendapatan;
2.5.2. penurunan jumlah
kemiskinan;
2.5.3. penurunan tingkat
pengangguran;
2.5.4. meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, pembangunan ekonomi
juga memiliki indikatornya tersendiri. Indikator pembangunan ekonomi ini
dirumuskan oleh PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) yang disebut sebagai MDGs (Millenium
Development Goals) yang telah disebutkan pada data di 2.1. di atas.
Rumusan itu terdiri dari delapan indikator capaian pembangunan, yaitu sebagai
berikut:
2.4.1. penghapusan kemiskinan;
2.4.2. pendidikan untuk semua;
2.4.3. persamaan gender;
2.4.4. perlawanan terhadap
penyakit menular;
2.4.5. penurunan angka kematian
anak;
2.4.6. peningkatan kesehatan
ibu;
2.4.7. pelestarian lingkungan
hidup;
2.4.8. kerja sama global.
(www.undp.or.id)
Berdasarkan data pada 2.1. dapat
kita lihat bahwa negara Indonesia belum dapat menghapus kemiskinan, menurunkan
angka kematian anak dan ibu secara signifikan dan belum dapat memberikan
pendidikan bagi semua golongan.
Asumsi dasar ekonomi makro mencakup variabel-variabel
yang dinilai memiliki dampak signifikan terhadap postur APBN. Meskipun asumsi
dasar tersebut hanya sebagai ancar-ancar dalam menghitung postur APBN, namun
dalam kondisi tertentu, asumsi dasar tersebut dapat menjadi target yang harus
dapat dicapai. Berkaitan dengan itu, menjaga stabilitas ekonomi makro menjadi
keharusan dalam rangka mengamankan pelaksanaan APBN. Asumsi dasar ekonomi makro
2013 tersebut disusun dengan memperhatikan perkembangan hingga saat ini dan
prospeknya ke depan. Dengan modal kinerja ekonomi Indonesia dalam lima tahun
terakhir yang cukup menggembirakan, prospek kondisi ekonomi makro Indonesia ke
depan diperkirakan berpotensi membaik. Dengan memperhatikan produk domestik
bruto (PDB) yang mampu tumbuh rata-rata 5,9 persen per tahun dalam kurun waktu
2007–2011, di tahun 2012 dan 2013 ekonomi Indonesia diperkirakan akan dapat
tumbuh di atas 6 persen. Inflasi dapat dikendalikan pada tingkat yang moderat,
sejalan dengan target inflasi dari Bank Indonesia. Sejalan dengan itu, suku
bunga juga mulai menunjukkan penurunan. Nilai tukar rupiah relatif stabil,
meskipun sejak akhir 2011 mengalami pelemahan sebagai imbas dari krisis ekonomi
global. Variabel lain yang dijadikan asumsi dasar ekonomi makro 2013 adalah
terkait dengan perhitungan migas, baik dari sisi penerimaan maupun belanja.
Variabel-variabel tersebut meliputi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian
Crude Price– ICP), lifting minyak,dan lifting gas. Variabel lifting gas baru
mulai dimunculkan sebagai asumsi dasar sejak RAPBN 2013 ini, dalam rangka
meningkatkan transparansi perhitungan penerimaan gas bumi. Harga minyak mentah
Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, sehingga sulit untuk
diprediksi. Lifting minyak dan gas sebenarnya didominasi oleh faktor internal,
tetapi hal tersebut menjadi tantangan yang cukup kompleks mengingat pencapaian
lifting minyak yang selalu di bawah target dalam beberapa tahun terakhir. Dengan
mempertimbangkan berbagai fakta tersebut dengan seksama, asumsi dasar ekonomi makro
yang digunakan dalam penyusunan postur RAPBN 2013 adalah sebagai berikut.
I. Pertumbuhan
ekonomi diperkirakan sebesar 6,8 persen. Dari sisi penggunaan, pertumbuhan
ekonomi 2013 diperkirakan didorong utamanya oleh konsumsi masyarakat danpemerintah,
serta pembentukan modal tetap bruto (PMTB)/investasi. Dari sisi produksi, sektor
pertanian, sektor industri pengolahan,
sektor konstruksi, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor
pengangkutan dan komunikasi diperkirakan masih tetap menjadi sektor pendorong
pertumbuhan ekonomi.
II. Laju inflasi
diharapkan dapat dikendalikan pada tingkat 4,9 persen. Hal tersebut diharapkan
dapat dicapai melalui kelancaran pasokan dan distribusi barang dan jasa, membaiknya
koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil yang didukung oleh meningkatnya
kesadaran pemerintah daerah dalam upaya pengendalian inflasi.
III. Rata-rata
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tahun 2013 diperkirakan sebesar
Rp9.300/US$. Tekanan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah diperkirakan bersumber
dari semakin menurunnya surplus neraca perdagangan Indonesia, serta perlambatan
ekonomi di Cina, India, dan Brazil yang dikhawatirkan akan mengurangi daya
tarik arus modal masuk ke negara emerging market dan mendorong terjadinya flight
to quality
IV. Tingkat suku
bunga SPN 3 bulan di tahun 2013 diperkirakan sebesar 5,0 persen. Faktor- faktor
yang menjadi pertimbangan antara lain adalah terkendalinya inflasi, nilai
tukar,dan arus modal masuk ke Indonesia.
V. Rata-rata
harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) di pasar internasional
diperkirakan mencapai sebesar US$100 per barel. Perkiraan tersebut antara lain
didukung oleh proyeksi pertumbuhan permintaan minyak dan melambatnya pertumbuhan
pasokan minyak dari negara-negara non-OPEC.
VI. Lifting minyak
dan gas bumi Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 2.260 ribu barel
setara minyak, yang meliputi lifting minyak sebesar 900 ribu barel per hari, dan
lifting gas bumi 1.360 ribu barel setara minyak. Mulai RAPBN 2013 ini, asumsi
lifting gas disatukan dengan asumsi lifting minyak, antara lain dimaksudkan
untuk menyelaraskan dengan program intensifikasi penggunaan sumber energi
alternatif selain minyak, serta perbaikan perhitungan penerimaan dan belanja
negara yang lebih rasional.
Perbaikan perhitungan tersebut didasarkan pada fakta
yang menunjukkan bahwa upaya- upaya eksplorasi lapangan-lapangan migas pada
tahun-tahun belakangan lebih banyak menemukan cadangan gas bumi. Perkembangan
realisasi asumsi dasar ekonomi makro 2007–2011 dan proyeksinya di tahun 2012–2013
disajikan dalam
Tabel 1.1.
Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal sebagai kebijakan utama pemerintah
yang diimplementasikan melalui APBN memiliki peran yang penting dan sangat
strategis di dalam memengaruhi perekonomian, terutama dalam upaya mencapai
target-target pembangunan nasional. Peran tersebut terkait dengan tiga fungsi
utama pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
APBN harus didesain sesuai dengan fungsi tersebut, dalam upaya mendukung penciptaan
akselerasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas. Fungsi alokasi
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
|
Real
|
Real
|
Real
|
real
|
Real
|
APBN
|
Outlook
|
RAPBN
|
|
a) Pertumbuhan Ekonomi (%)
|
6,3
|
4,6
|
6,2
|
6,5
|
6,5
|
6,3
|
6,5
|
6,8
|
2. I
nflasi (%)
|
6,6
|
11,1
|
2,8
|
7,0
|
3,8
|
6,8
|
4,8
|
4,9
|
3. Nilai
Tukar (Rp/US$)
|
9.140
|
9.691
|
10.408
|
9.087
|
8.779
|
9.000
|
9.250
|
9.300
|
4. Suku
Bunga SPN 3 Bulan (%)
|
8,0
|
9,3
|
7,5
|
6,6
|
4,8
|
5,0
|
3,9
|
5,0
|
5. Harga
Minyak ICP (US$/barel)
|
72,3
|
97,0
|
61,6
|
79,4
|
111,5
|
105,0
|
110,0
|
100,0
|
6. Lifting
Minyak (ribu barel/hari)
|
904,0
|
871,0
|
944,0
|
953,9
|
898,5
|
930,0
|
900,0
|
900,0
|
7. Lifting
Gas (mboepd)
|
-------
|
-------
|
-------
|
---------
|
--------
|
-------
|
--------
|
1,360
|
Postur RAPBN tahun 2013 disusun dengan kaidah ekonomi
publik dalam rangka optimalisasi sumber sumber penerimaan negara disertai
dengan pelaksanaan efisiensi dan efektivitas di bidang belanja negara dan
ketersediaan pembiayaan anggaran. Selain mempertimbangkan asumsi dasar ekonomi
makro, penetapan berbagai besaran postur RAPBN tahun 2013 juga memperhatikan
kebutuhan untuk penyelenggaraan pemerintahan yang baik, kebijakan yang akan
dilakukan ke depan, serta perkembangan realisasi APBN pada periode-periode sebelumnya.Selama
periode 2007–2011, realisasi APBN mencatat defisit anggaran yang fluktuatif,
sejalan perkembangan realisasi pendapatan negara dan belanja negara yang
terjadi pada periode tersebut. Pada periode 2007–2011, realisasi pendapatan
negara dan hibah berada pada kisaran 15,1 hingga 19,8 persen terhadap PDB,
realisasi belanja negara pada kisaran 16,2 sampai 19,9 persen, dan realisasi
defisit berada pada kisaran 0,1 persen sampai dengan 1,6 persen terhadap
PDB.Selanjutnya, dalam APBNP tahun 2012, pendapatan negara diperkirakan
mencapai Rp1.358,2 triliun, sedangkan belanja negara diperkirakan mencapai
sebesar Rp1.548,3 triliun, sehingga diperkirakan terjadi defisit sebesar
Rp190,1 triliun (2,23 persen terhadap PDB). Kebijakan anggaran ekspansif yang
ditempuh Pemerintah hingga penetapan APBNP tahun 2012 tersebut masih akan
diteruskan untuk tahun 2013. Berdasarkan arah dan strategi kebijakan fiskal,
postur RAPBN 2013 akan meliputi pokok-pokok besaran sebagai berikut:
·
Pendapatan negara direncanakan mencapai Rp1.507,7 triliun,
terdiri atas penerimaan perpajakan Rp1.178,9 triliun, PNBP Rp324,3 triliun, dan
penerimaan hibah Rp4,5 triliun.
·
Belanja negara direncanakan sebesar Rp1.657,9 triliun,
terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp1.139,0 triliun dan transfer ke daerah Rp518,9
triliun.
·
Defisit anggaran diperkirakan sebesar Rp150,2 triliun
(1,62 persen terhadap PDB).
·
Pembiayaan defisit RAPBN 2013 direncanakan berasal
dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri sebesar Rp169,6 triliun, dan
pembiayaan luar negeri (neto) sebesar negatif Rp19,5 triliun. Ringkasan postur
RAPBN tahun 2013.
Perekonomian nasional masih cukup kuat untuk
menghadapi dampak krisis global yang, masih berlangsung hingga saat ini. Hal
itu terbukti dengan tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2011.
Sebaliknya, beberapa negara mengalami perlambatan atau bahkan pertumbuhan
negatif. Selama lima tahun terakhir (2007-2011), ekonomi Indonesia mampu tumbuh
rata-rata sebesar 5,9 persen (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan dengan lima
tahun sebelumnya (2002-2006) yang tumbuh sebesar 5,1 persen (yoy). Pada tahun
2007, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 6,3 persen (yoy). Kemudian
mengalami perlambatan pada tahun 2008 akibat krisis global dengan tumbuh 6,0
persen (yoy). sar 4,6 persen (yoy). Pada tahun 2010 perekonomian nasional
kembali meningkat dan tumbuh sebesar 6,2 persen (yoy). Selanjutnya, di tahun
2011, perekonomian nasional kembali meningkat menjadi 6,5 persen (yoy) walaupun
masih dibayangi dampak krisis global di Eropa (lihat Grafik 2.3). Pertumbuhan
ekonomi pada tahun 2011 mengalami peningkatan hingga mampu tumbuh 6,5 persen
(yoy). Bayang-bayang dampak krisis utang yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa
tidak berdampak terlalu signifikan pada perekonomian nasional. Permintaan
domestik masih cukup kuat untuk menahan perlambatan yang terjadi di sisi
eksternal. Sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di tahun 2011 berasal dari
pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang tumbuh 8,8 persen (yoy), konsumsi rumah
tangga tumbuh 4,7 persen (yoy), dan konsumsi pemerintah tumbuh 3,2 persen (yoy).
Sementara itu, ekspor-impor mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, yaitu hanya
tumbuh 13,6 persen dan 13,3 persen (yoy) (Grafik 2.4).
Dari sisi sektoral, pertumbuhan ekonomi 2011 didorong oleh sektor industri
pengolahan yang mengalami pertumbuhan cukup tinggi yaitu mencapai 6,2 persen
(yoy), serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang tumbuh sebesar 9,2
persen (yoy). Pada tahun 2011, konsumsi masyarakat tumbuh 4,7 persen (yoy),
sama dengan pertumbuhan tahun 2010. Sejak kuartal pertama hingga kuartal
terakhir tahun 2011, pertumbuhan konsumsi masyarakat menunjukkan tren yang
semakin cepat. Hal tersebut menunjukkan adanya perbaikan daya beli masyarakat
di sepanjang tahun 2011 sejalan dengan rendahnya inflasi di tahun tersebut.
Pertumbuhan konsumsi masyarakat didorong oleh pertumbuhan konsumsi makanan dan
bukan makanan, yang masing-masing tumbuh 3,8 persen (yoy) dan 5,5 persen (yoy).
Konsumsi masyarakat memberikan kontribusi terbesar pada pertumbuhan ekonomi.
Peran atau distribusinya dalam PDB mencapai 54,6 persen. Peningkatan yang cukup
signifikan terjadi pada pertumbuhan konsumsi pemerintah, yang pada tahun 2011
tumbuh 3,2 persen (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun
2010 yang hanya tumbuh 0,3 persen (yoy). Dorongan
terhadap konsumsi pemerintah berasal
dari belanja barang dan belanja pegawai, yang
masing-masing tumbuh sebesar 3,6 persen (yoy) dan 5,4 persen (yoy).
Meningkatnya belanja pegawai terkait dengan pemberian remunerasi pada beberapa
kementerian negara/lembaga. Walaupun terjadi peningkatan yang signifikan,
kontribusi konsumsi pemerintah relatif kecil pada pertumbuhan ekonomi. Peran
konsumsi pemerintah hanya mencapai 9,0 persen dari total PDB. Pertumbuhan
pengeluaran investasi (pembentukan modal tetap bruto/PMTB) tahun 2011 menunjukkan
sedikit peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu dari 8,5 persen (yoy)
menjadi 8,8 persen (yoy). Peningkatan kinerja investasi tersebut terutama
didorong oleh pertumbuhan dalam bentuk investasi mesin dan perlengkapan yang
berasal dari impor, serta alat angkut impor. Tren peningkatan konsumsi dalam
negeri mendorong kebutuhan mesin-mesin baru untuk menjamin kecukupan kapasitas
produksi ke depan. Sementara itu, pertumbuhan investasi alat angkut impor yang
tinggi lebih didorong oleh pembelian sejumlah pesawat udara untuk mengimbangi
aktivitas ekonomi dan hubungan antar berbagai wilayah yang meningkat pesat.
Investasi bangunan sedikit mengalami perlambatan sejalan dengan pertumbuhan
sektor konstruksi yang relatif tetap. Walaupun peran investasi terhadap PDB relatif
lebih kecil jika dibandingkan dengan konsumsi masyarakat, tetapi pengeluaran investasi
mampu memberikan kontribusi yang cukup tinggi pada pertumbuhan ekonomi. Sedikit
berbeda dengan yang terjadi pada komponen lainnya, pertumbuhan ekspor dan impor
barang dan jasa di tahun 2011 relatif melambat jika
dibandingkan dengan tahun 2010. Tekanan pelemahan ekonomi global telah
menyebabkan melambatnya kinerja ekspor Indonesia, yaitu dari pertumbuhan 15,3
persen (yoy) di tahun 2010 menjadi 13,6 persen (yoy) di tahun 2011. Hal yang
sama terjadi pada pertumbuhan impor yang melambat dari 17,3 persen (yoy) di
tahun 2010 menjadi 13,3 persen (yoy) di tahun 2011. Namun, perlambatan impor
yang lebih besar daripada ekspor telah menyebabkan peningkatan ekspor neto
menjadi 14,4 persen (yoy) di tahun 2011 dari 8,7 persen (yoy) di tahun
sebelumnya. Bila dilihat lebih jauh, penurunan pertumbuhan ekspor dan impor barang
baru terlihat jelas di kuartal IV 2011. Namun, dampak langsung dari perlambatan
ekonomi Eropa terhadap ekspor Indonesia relatif kecil sebagai akibat rendahnya
komposisi ekspor langsung ke negara-negara yang terkena krisis (lihat Tabel
2.1). Dari sisi penawaran, semua sektor ekonomi masih tumbuh positif di tahun
2011 walaupun beberapa sektor mengalami perlambatan. Sektor industri
pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor keuangan, serta
sektor jasa mengalami peningkatan pertumbuhan. Sementara itu, empat sektor yang
lain mengalami perlambatan, yaitu sektor pertambangan, sektor listrik, gas, dan
air bersih, sektor konstruksi, serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Di
sisi lain, sektor pertanian mengalami pertumbuhan konstan. Pertumbuhan
tertinggi tetap terjadi pada sektor pengangkutan dan komunikasi yang tumbuh double
digit sebesar 10,7 persen (yoy), melambat bila dibandingkan dengan tahun 2010 yang
tumbuh sebesar 13,4 persen (yoy). Pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh subsektor
komunikasi yang tumbuh 12,7 persen karena meningkatnya sarana komunikasi, baik
dari sisi jenis maupun intensitas penggunaannya. Subsektor pengangkutan tumbuh sebesar
7,6 persen (yoy), didorong oleh tumbuhnya subsektor angkutan jalan raya dan subsektor
angkutan laut, serta subsektor jasa penunjang angkutan yang masing-masing Perkembangan
Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2013 tumbuh sebesar 6,6 persen
(yoy), 2,8 persen (yoy), dan 6,8 persen (yoy). Meningkatnya jumlah penumpang
dan beragamnya moda angkutan di jalan raya dan laut mendukung pertumbuhan
subsektor tersebut. Sektor industri pengolahan di tahun 2011 tumbuh signifikan
sebesar 6,2 persen (yoy). Sektor tersebut mengalami peningkatan yang cukup
tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2010 yang sebesar 4,7 persen
(yoy). Lonjakan pertumbuhan sektor itu didorong oleh pertumbuhan pada subsektor
industri nonmigas yang mencapai 6,8 persen (yoy). Sementara itu, subsektor
industri migas mengalami kontraksi sebesar 0,9 persen (yoy). Pertumbuhan subsektor
industri nonmigas ditopang oleh industri logam dasar, besi dan baja, industri makanan,
minuman, dan tembakau, serta industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki.
Ketiga subsektor itu masing-masing tumbuh sebesar 13,1 persen (yoy), 9,2 persen
(yoy), dan 7,5 persen (yoy). Kontraksi pada subsektor industri nonmigas
terutama didorong oleh minusnya pertumbuhan pada industri gas alam cair (lihat Tabel 2.2). Sektor perdagangan, hotel, dan
restoran mengalami peningkatan pertumbuhan dari 8,7 persen (yoy) di tahun 2010
menjadi 9,2 persen (yoy) di tahun 2011. Pertumbuhan sektor itu ditopang oleh
kinerja subsektor perdagangan besar dan eceran yang tumbuh 10,0 persen (yoy).
Sementara itu, subsektor hotel dan subsektor restoran masing-masing tumbuh 9,0 persen
(yoy) dan 4,1 persen (yoy). Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan di tahun 2011 mengalami pertumbuhan yang tetap atau sama dengan tahun
sebelumnya yaitu sebesar 3,0 persen (yoy). Dorongan pada sektor pertanian
berasal dari subsektor perikanan sebesar 6,7 persen (yoy). Sementara itu,
subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi kontributor utama
PENGELUARAN
|
Distribusi (%)
|
Kontribusi (%)
|
||
2010
|
2011
|
2010
|
2011
|
|
Konsumsi
Masyarakat
|
56,6
|
54,6
|
2,7
|
2,7
|
Konsumsi
Pemerintah
|
9,0
|
9,0
|
0,0
|
0,3
|
PMTB
|
32,1
|
32,0
|
32,0
|
2,1
|
Ekspor
|
24,6
|
26,3
|
6,5
|
6,3
|
Impor
|
24,9
|
24,9
|
5,6
|
4,8
|
Sektor
Pertanian
|
15,3
|
14,7
|
0,4
|
0,4
|
Pertambangan
|
11,2
|
11,9
|
0,3
|
0,1
|
Industri
|
24,8
|
24,3
|
1,2
|
1,6
|
Listrik,
gas, dan air bersih
|
0,8
|
0,7
|
0,0
|
0,0
|
Konstruksi
|
10,3
|
10,2
|
0,4
|
0,4
|
Perdagangan,
hotel dan restoran
|
13,7
|
13,8
|
1,5
|
1,6
|
Pengangkutan
dan komunikasi
|
6,6
|
6,6
|
1,2
|
1,0
|
Keuangan,
Real Estat & Jasa Perusahaan
|
7,2
|
7,2
|
0,5
|
0,7
|
Jasa
|
10,2
|
10,5
|
0,6
|
0,6
|
Sumber:
Badan Pusat Statistik
Tumbuh sebesar 6,6 persen (yoy), 2,8 persen (yoy), dan
6,8 persen (yoy). Meningkatnya jumlah penumpang dan beragamnya moda angkutan di
jalan raya dan laut mendukung pertumbuhan subsektor tersebut. Sektor industri
pengolahan di tahun 2011 tumbuh signifikan sebesar 6,2 persen (yoy). Sektor tersebut
mengalami peningkatan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun
2010 yang sebesar 4,7 persen (yoy). Lonjakan pertumbuhan sektor itu didorong
oleh pertumbuhan pada subsektor industri nonmigas yang mencapai 6,8 persen
(yoy). Sementara itu, subsektor industri migas mengalami kontraksi sebesar 0,9
persen (yoy). Pertumbuhan subsektor industri nonmigas ditopang oleh industri
logam dasar, besi dan baja, industri makanan, minuman, dan tembakau, serta
industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki. Ketiga subsektor itu
masing-masing tumbuh sebesar 13,1 persen (yoy), 9,2 persen (yoy), dan 7,5 persen
(yoy). Kontraksi pada subsektor industri nonmigas terutama didorong oleh
minusnya pertumbuhan pada industri gas alam cair (lihat Tabel 2.).
Sektor perdagangan, hotel, dan restoran mengalami
peningkatan pertumbuhan dari 8,7 persen (yoy) di tahun 2010 menjadi 9,2 persen
(yoy) di tahun 2011. Pertumbuhan sektor itu ditopang oleh kinerja subsektor
perdagangan besar dan eceran yang tumbuh 10,0 persen (yoy). Sementara itu,
subsektor hotel dan subsektor restoran masing-masing tumbuh 9,0 persen (yoy)
dan 4,1 persen (yoy). Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan di
tahun 2011 mengalami pertumbuhan yang tetap atau sama dengan tahun sebelumnya
yaitu sebesar 3,0 persen (yoy). Dorongan pada sektor pertanian berasal dari
subsektor perikanan sebesar 6,7 persen (yoy). Sementara itu, subsektor tanaman
bahan makanan yang menjadi kontributor utama serta Perkembangan Ekonomi dan
Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2013 2-7 Nota Keuangan dan RAPBN 2013 pertumbuhan
sektor itu mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
yaitu dari 1,6 persen (yoy) menjadi 1,3 persen (yoy). Melambatnya pertumbuhan subsektor
tanaman bahan makanan dikarenakan pengaruh gangguan cuaca yang menyebabkan
penurunan pada produksi pertanian terutama padi. Nilai Tukar Rupiah Pada tahun
2007, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil, yaitu rata-rata sebesar
Rp9.136 per dolar AS. Pergerakan itu mengikuti tren penguatan tahun sebelumnya.
Hingga kuartal ketiga tahun 2008, nilai tukar rupiah masih bergerak relatif
stabil pada kisaran Rp9.051 hingga Rp9.500 per dolar AS. Memasuki kuartal
keempat tahun 2008, nilai tukar rupiah mulai mengalami tekanan seiring dengan
perlambatan ekonomi dunia sebagai dampak krisis keuangan global dan gejolak
harga komoditas di pasar internasional. Pada periode tersebut volatilitas
rupiah cenderung meningkat dan bergerak pada kisaran Rp9.500 hingga Rp12.400 per
dolar AS. Hingga akhir tahun 2008, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar
AS berada pada kisaran Rp9.678,3 per dolar AS, melemah sekitar 5,9 persen bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hingga kuartal I tahun 2009, depresiasi
nilai tukar rupiah masih terus berlanjut hingga menyentuh level terendah pada 6
Maret 2009 sebesar Rp12.065 per dolar AS sebagai imbas kekhawatiran terhadap
meluasnya krisis keuangan global. Namun, secara bertahap mulai kuartal II tahun
2009, nilai tukar rupiah mengalami penguatan hingga mencapai nilai tertinggi
pada 8 Juni 2009 sebesar Rp9.985 per dolar AS. Penguatan nilai tukar rupiah
tersebut sejalan dengan kondisi fundamental perekonomian yang semakin membaik
serta
Sektor
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
Pertanian
|
3,5
|
4,8
|
4,0
|
3,0
|
3,0
|
Pertambangan
|
1,9
|
0,7
|
4,5
|
3,6
|
1,4
|
Industri
Pengolahan
|
4,7
|
3,7
|
2,2
|
4,7
|
6,220
|
Listrik,
Gas Dan Air Bersih
|
1 0,3
|
10,9
|
14,3
|
5,3
|
4,8
|
Kontruski
|
8,5
|
7,6
|
7,1
|
7,0
|
6,7
|
Perdagangan,
Hotel, Restoran
|
8,9
|
6,9
|
1 ,3
|
8,7
|
9,2
|
Pengangkutan
dan komunikasi
|
1 4,0
|
16,6
|
15,8
|
1 3,4
|
10,7
|
Keuangan,
Real Estat & Jasa Perusahaan
|
8,0
|
8,2
|
5,2
|
5,7
|
6,8
|
Jasa
|
6,4
|
6,2
|
6,4
|
6,0
|
6,7
|
- S u m b er
: Ba da n Pu sa t S t a t ist ik
pertumbuhan sektor itu mengalami perlambatan jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari 1,6 persen (yoy) menjadi 1,3
persen (yoy). Melambatnya pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan
dikarenakan pengaruh gangguan cuaca yang menyebabkan penurunan pada produksi
pertanian terutama padi. Nilai Tukar Rupiah Pada tahun 2007, nilai tukar rupiah
bergerak relatif stabil, yaitu rata-rata sebesar Rp9.136 per dolar AS.
Pergerakan itu mengikuti tren penguatan tahun sebelumnya. Hingga kuartal ketiga
tahun 2008, nilai tukar rupiah masih bergerak relatif stabil pada kisaran
Rp9.051 hingga Rp9.500 per dolar AS. Memasuki kuartal keempat tahun 2008, nilai
tukar rupiah mulai mengalami tekanan seiring dengan perlambatan ekonomi dunia
sebagai dampak krisis keuangan global dan gejolak harga komoditas di pasar
internasional. Pada periode tersebut volatilitas rupiah cenderung meningkat dan
bergerak pada kisaran Rp9.500 hingga Rp12.400 per dolar AS. Hingga akhir tahun
2008, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada pada kisaran
Rp9.678,3 per dolar AS, melemah sekitar 5,9 persen bila dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Hingga kuartal I tahun 2009, depresiasi nilai tukar rupiah masih
terus berlanjut hingga menyentuh level terendah pada 6 Maret 2009 sebesar
Rp12.065 per dolar AS sebagai imbas kekhawatiran terhadap meluasnya krisis
keuangan global. Namun, secara bertahap mulai kuartal II tahun 2009, nilai
tukar rupiah mengalami penguatan hingga mencapai nilai tertinggi pada 8 Juni
2009 sebesar Rp9.985 per dolar AS. Penguatan nilai tukar rupiah tersebut sejalan
dengan kondisi fundamental perekonomian yang semakin membaik serta keseimbangan
permintaan dan penawaran valuta asing di pasar domestik. Di samping itu, jumlah
cadangan devisa yang meningkat dan imbal hasil rupiah yang relatif tinggi jika dibandingkan
dengan peer countries telah memberikan sinyal positif kepada
investor mengenai ketahanan perekonomian Indonesia terhadap guncangan di pasar
internasional. Sampai dengan akhir tahun 2009, rata-rata nilai tukar rupiah
berada pada Rp10.399 per dolar AS atau mengalami pelemahan sekitar 7,4 persen
jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Derasnya arus modal asing yang masuk
serta keseimbangan permintaan dan penawaran valuta asing di pasar domestik
telah mendorong relatif stabilnya pergerakan nilai tukar rupiah selama tahun 2010.
Nilai tukar rupiah sempat mengalami tekanan pada kuartal I tahun 2010 sebagai
imbas sentimen negatif pelaku pasar terhadap defisit fiskal Yunani yang dikhawatirkan
merambat ke negara-negara Eropa lainnya. Namun, seiring dengan optimisme
pemulihan ekonomi global yang terus berlangsung, kondisi fundamental perekonomian
di kawasan Asia yang membaik, imbal hasil rupiah yang menarik, serta derasnya
arus modal masuk ke pasar domestik telah mendorong penguatan nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS sepanjang 2010 dengan rata-rata Rp9.085 per dolar AS, menguat
12,7 persen bila dibandingkan dengan rata-rata tahun sebelumnya. Tren positif
penguatan nilai tukar rupiah selama tahun 2010 tersebut terus berlangsung
hingga tahun 2011. Masih berlangsungnya proses pemulihan ekonomi di Amerika Serikat
serta belum adanya kepastian mengenai proses pemulihan ekonomi di Eropa,
mendorong investor mengalihkan investasinya ke negara- negara emerging markets, termasuk Indonesia. Imbal
hasil rupiah yang kompetitif serta meningkatnya credit rating Indonesia pada level investment grade menjadi daya tarik investasi
sehingga mendorong peningkatan arus modal masuk ke pasar domestik Rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang tahun
2011 bergerak stabil pada kisaran Rp8.779 perdolar AS, menguat 3,4 persen bila
dibandingkan dengan rata-rata tahun sebelumnya (lihat Grafik 2.5). Untuk
menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, Pemerintah dan Bank Indonesia terus
berupaya meningkatkan koordinasi dan penguatan sinergi kebijakan moneter,
fiskal dan sektoral, penerapan kebijakan moneter yang berhati-hati, serta
pengawasan lalu lintas devisa. Kebijakan tersebut diharapkan mampu menjaga
stabilitas nilai tukar dan mencegah volatilitas yang berlebihan serta menjaga
kecukupan cadangan devisa untuk memenuhi kebutuhan fundamental perekonomian.
Kebijakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar juga diarahkan sebagai langkah
antisipasi untuk mencegah terjadinya pembalikan modal ( sudden reversal ) yang
dapat mendorong terulangnya krisis ekonomi Asia tahun 1997-1998. Di samping
itu, peningkatan koordinasi kebijakan serta peningkatan efektivitas peraturan
dan monitoring lalu lintas devisa terus
dilakukan untuk menopang kebijakan moneter tersebut. Kebijakan tersebut
dilakukan secara simultan dengan mengakomodasi kebijakan nilai tukar yang lebih
fleksibel dengan tetap memerhatikan tren nilai tukar negara-negara kawasan agar
daya saing rupiah tetap terjaga. Di tingkat internasional dan regional,
komitmen untuk mempercepat pemulihan ekonomi disertai dengan perjanjian kerja
sama bidang keuangan semakin memperkuat upaya pemulihan ekonomi global dan
regional. Inflasi Perkembangan laju inflasi Indonesia selama beberapa tahun
terakhir sangat dipengaruhi oleh volatilitas harga komoditas energi dan bahan
pangan di pasar internasional. Volatilitas harga komoditas tersebut di pasar
internasional muncul karena adanya gangguan produksi di negara-negara produsen
sebagai dampak anomali iklim, bencana alam, dan konflik geopolitik. Adanya
gangguan produksi tersebut mendorong peningkatan tekanan output gap di pasar internasional yang pada
akhirnya berdampak pada timbulnya gejolak harga komoditas sejenis di pasar
dalam negeri. Laju inflasi tahun 2007 bergerak relatif stabil pada level 6,6
persen (yoy), sejalan dengan stabilnya harga komoditas energi dan bahan pangan di
pasar dunia yang mendorong minimalnya kebijakan pemerintah di bidang harga. Sementara
itu, di tahun 2008, lonjakan harga energi dan bahan pangan di pasar
internasional, telah mendorong Pemerintah melaksanakan kebijakan penyesuaian harga
BBM pada Juni 2008. Tekanan harga komoditas energi dan bahan pangan di pasar
internasional dan domestik tersebut menyebabkan peningkatan laju inflasi tahun
2008 pada level 11,06 persen (yoy) (lihat Grafik 2.6). Pada tahun 2009, laju
inflasi menunjukkan penurunan tajam ke level 2,78 persen (yoy), yang antara
lain disebabkan oleh penurunan harga komoditas energi internasional, khususnya
minyak mentah. Kondisi tersebut mendorong Pemerintah menurunkan harga BBM pada
akhir tahun 2009 sebagai kelanjutan dari penurunan harga BBM pada akhir tahun
2008. Meningkatnya harga komoditas bahan pangan dan energi di pasar
internasional pada tahun 2010 kembali mendorong peningkatan laju inflasi hingga
mencapai level 6,96 persen (yoy). Tekanan inflasi dari sumber eksternal
tersebut memperberat laju inflasi domestik mengingat pada saat yang bersamaan,
pasar dalam negeri juga mengalami gangguan pasokan bahan pangan dan energi
sebagai dampak dan serangkaian bencana alam yang terjadi di beberapa wilayah
sentra produksi. Tekanan tersebut menimbulkan dorongan peningkatan harga
komoditas bahan pangan dan energi di pasar dalam negeri sehingga meningkatkan
inflasi tahun 2010
Label:
Ekonomi
|
0
komentar
Langganan:
Postingan (Atom)